RESTRUTURISASI PEMBIAYAAN PRODUK SYARIAH DI MASA PANDEMI

Oleh : Indika Rahman (Magister Hukum Ekonomi Syariah)

Tulisan ini untuk mengkaji restrukturisasi pembiayaan pada bank Syariah di masa pandemi Covid-19 perspektif hukum perikatan Islam. Wabah Covid-19 yang telah menginfeksi hampir seluruh belahan dunia berdampak pada semua dimensi, baik itu sosial, politik, maupun ekonomi. Dampak dalam hal perekonomian pada lembaga keuangan Syariah yakni tentang pembiayaan yang bermasalah. Pembiayaan bermasalah yang ditimbulkan berpotensi mengganggu kinerja perbankan dan stabilitas sistem keuangan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Padahal untuk melihat keadaan ekonomi akibat pandemi dan strategi pemulihan pembiayaan di lingkup erbankan bisa ditinjau dari perspektif hukum perikatan Islam. Berdasarkan survey di lapangan terlihat bahwa Bank Syariah dalam memberikan restrukturisasi pembiayaan pada nasabah UMKM akibat Pandemi Covid-19 didasarkan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 16/POJK.03/2014, yakni hanya dapat diberikan kepada nasabah yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya terhadap bank akibat usahanya terdampak Covid-19. Tahapan restrukturisasi yaitu rescheduling, reconditioning, restructuring. Semua tahapan ini dilakukan guna memenuhi tujuan akad awal seorang nasabah dengan pihak bank, yaitu untuk melahirkan suatu akibat hukum atau maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh pihak melalui pembuatan akad. Karena akad dalam hukum perikatan berarti mengikat, yang mana seorang debitur diwajibkan untuk menyelesaikan pembayaran angsuran sampai batas waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kesepakatan. Bank Syariah dalam memberikan restrukturisasi pembiayaan pada nasabah UMKM akibat Pandemi Covid-19 didasarkan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 16/POJK.03/2014, yakni hanya dapat diberikan kepada nasabah yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya terhadap bank akibat usahanya terdampak Covid-19. Tahapan restrukturisasi yaitu penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning) dan penataan kembali (restructuring). Semua tahapan ini dilakukan guna memenuhi tujuan akad
awal seorang nasabah dengan pihak bank, yaitu untuk melahirkan suatu akibat hukum atau maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh pihak
melalui pembuatan akad. Karena akad dalam hukum perikatan berarti mengikat, yang mana seorang debitur diwajibkan untuk menyelesaikan pembayaran angsuran sampai batas waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kesepakatan. Hukum akad menggambarkan konsep perikatan dalam hukum Islam karena di dalamnya terkandung adanya kewajiban dan hak bagi masing-masing pihak. Kelonggaran cicilan ditujukan kepada debitur kecil antara lain sektor informal, usaha mikro, pekerja berpenghasilan harian yang memiliki kewajiban pembayaran pembiayaan untuk menjalankan usaha produktif mereka, pengusaha warung makan yang terpaksa tutup karena adanya kebijakan work from home.

Indika Rahman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *